Kisah inspiratif dari seorang ulama Sufi Abdullah bin Mubarak tentang Ali bin Al Muwaffaq, patut menjadi panutan bagi Anda yang ingin ke Baitullah.
Dalam kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah Al Qulyubi, dikisahkan seorang ulama sufi Abdullah bin Mubarak suatu ketika, setelah selesai menjalani ritual ibadah haji, Abdurrahman Abdullah ibn Al Mubarak beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit, dan mendengar percakapan keduanya.
“Berapa orang yang datang tahun ini untuk berhaji ?” tanya salah satu Malaikat kepada malaikat lainnya.
“Enam ratus ribu jama’ah” jawab Malaikat yang ditanya.
“Berapa banyak dari mereka yang diterima ibadah hajinya ?”
“Tidak satupun”
Percakapan itu membuat sang Abdullah Al Mubarak gemetar.
“Apa?” ia menangis dalam mimpinya. “Semua orang – orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia ?” Fikirnya.
Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar percakapan kedua malaikat itu.
“Namun ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, akan tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia seluruh ibadah haji mereka diterima oleh Allah”
“Kenapa bisa begitu?”
“Itu kehendak Allah”
“Siapa orang tersebut ?”
“Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Kota Dimasyq (Damaskus)”
Mendengar ucapan itu, Abdullah Al Mubarak pun langsung terbangun dari tidurnya. Sepulang haji, ia tak langsung pulang menuju rumah, akan tetapi langsung menuju kota Damaskus, Syiria. Hatinya terus bergetar dan bertanya – tanya.
Sesampai di sana, ia langsung mencari sang tukang sol sepatu yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu ia tanya, apakah ada tukang sol sepatu yang bernama Ali bin Al Muwaffaq.
“Ada, di tepi kota” jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjuk arahnya.
Sampai disana ia mendapati seorang tukang sol sepatu yang berpakaian amat lusuh, “Benarkah anda bernama Ali bin Al Muwaffaq?” tanya ibn al Mubarak.
“Betul tuan, ada yang bisa saya bantu ?”
“Saya hendak tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur, padahal anda tidak berangkat haji”.
“Wah saya sendiri tidak tahu tuan”
“Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini”
Maka Ali bin Al Muwaffaq pun bercerita, “Sejak puluhan tahun yang lalu. Setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan, hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, cukup untuk saya berhaji, saya sudah siap berhaji”
“Tapi anda batal berangkat haji”
“Benar”
“Apa yang terjadi ?”
“Ketika itu, Istri saya hamil, dan mengidam. Waktu saya hendak berangkat, saat itu dia ngidam berat”
“Suamiku, adakah engkau mencium bau masakan yang nikmat ini ?”
“Iya, sayang”
“Cobalah kau cari, siapakah yang masak sehingga baunya begitu nikmat. Mintalah sedikit untukku” Pintanya.
“Kemudian sayapun mencari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh. Disitu ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya” Ungkap Ali bin Al Muwaffaq
Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan, “tidak boleh, Tuan”
“Dijual berapapun akan saya beli”
“Makanan itu tidak dijual, Tuan” katanya sambil berlinang air mata.
“Kenapa ?”
Sambil menangis, janda itu menjawab, “Daging ini halal untuk kami dan haram untuk Tuan”
Dalam hati Ali bin Al Muwaffaq bertanya “Bagaimana mungkin ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama muslim ?” Karena itu saya mendesaknya lagi “Kenapa ?”
“Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Di rumah sama sekali tak ada makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk kami masak, dan kami makan” Dengan sesenggukan janda itu menjelaskan.
Mendengar ucapan tersebut, saya menangis, kemudian kembali pulang. Aku ceritakan perihal kejadian itu pada istriku, iapun menangis. Hingga akhirnya, kami memasak makanan dan mendatangi rumah janda tersebut.
“Ini kami bawakan masakan untukmu”
Uang peruntukan Haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka. “Pakailah uang ini untukmu sekeluarga. Gunakanlah untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi”
Mendengar cerita tersebut, Abdullah Al Mubarak pun tak bisa menahan air matanya, ternyata inilah amalan yang dilakukan oleh Sa’id Ibn Muhafah sehingga Allah menerima amalan hajinya meskipun dirinya tidak berkesempatan menunaikan ibadah haji.